KUTAI BARAT, TRIBUNGARDAIKN.COM–Gagasan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Benua Raya kembali mencuat. Sejumlah tokoh masyarakat setempat menilai, pemekaran wilayah tersebut mendesak dilakukan demi mempercepat pembangunan, membuka keterisolasian, dan meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat di daerah perbatasan.
Sekretaris Panitia Pembentukan Benua Raya, Syanghai, mengungkapkan bahwa wacana ini sesungguhnya sudah lama muncul, bahkan sejak masa almarhum tokoh masyarakat, Tarnayo dan Batirama. Namun baru pada 2019 ide tersebut mulai digerakkan secara terorganisir.
“Pada tanggal 18 Agustus 2019, kami berkumpul di rumah saya di Kampung Cepedas, Jalan Trans Kalimantan, dan membentuk panitia resmi. Saat itu Arli terpilih sebagai ketua dan saya sebagai sekretaris. Berita acara sudah dibuat lengkap. Jadi, ini bukan sekadar wacana, tapi perjuangan nyata,” ujar Syanghai kepada media ini, Senin (15/9/2025).
Menurutnya, perjuangan pemekaran Benua Raya bukan untuk kepentingan politik atau kursi DPR semata, melainkan murni demi pembangunan daerah.
“Kami sadar betul banyak wilayah yang masih sangat sulit dijangkau, pelayanan publik terbatas, bahkan warga yang sakit harus menempuh perjalanan jauh dan melewati jalan rusak. Dengan pemekaran, wilayah menjadi lebih kecil sehingga pembangunan bisa lebih merata dan cepat terasa,” tambahnya.
Syanghai menuturkan, sejak awal pihaknya tidak bekerja sendiri, melainkan melanjutkan perjuangan para pendahulu. Ia bersyukur, wacana ini mendapat sambutan positif dari pemerintah daerah maupun DPRD Kutai Barat.
“Waktu itu Pak Bupati FX Yapan menyatakan dukungan. Ketua DPRD juga sama, mendukung penuh. Mereka hanya berpesan agar seluruh persyaratan administrasi dilengkapi terlebih dahulu. Kalau syarat sudah lengkap, mereka tidak punya alasan untuk menolak,” jelasnya.
Meski demikian, proses perjuangan sempat terhambat karena pandemi COVID-19. Selama lebih dari dua tahun, panitia tidak berani bergerak aktif. Baru setelah kondisi membaik, gerakan kembali dijalankan, meski dengan keterbatasan dana.
“Kami tidak pernah mengandalkan pihak ketiga atau pihak kedua. Semua biaya kami tanggung sendiri. Jadi memang jalannya pelan-pelan, tapi kami tetap konsisten,” ungkap Syanghai.
Menariknya, istilah Benua Raya dipilih setelah adanya diskusi panjang. Syanghai menceritakan, sebelumnya terdapat keraguan menggunakan kata benua karena khawatir dianggap berkonotasi etnis. Namun setelah mendapat masukan dari Profesor Loren dan mempertimbangkan saran Presiden Joko Widodo kala itu, nama tersebut akhirnya disepakati.
“Kalau disebut ‘benua’ saja, bisa ditolak karena dianggap etnis. Tapi kalau ‘Benua Raya’, artinya luas: benua Asia, Afrika, Nusantara, kampung, dan pulau. Jadi istilah ini netral. Dari situ akhirnya terbentuklah nama resmi Benua Raya, dan kami sudah punya badan hukum dengan nama itu,” paparnya.
Syanghai menekankan, inti perjuangan pemekaran adalah membuka akses bagi masyarakat di daerah pelosok, terutama di wilayah Tanjong Soke, Lempeng Beraya, hingga Kecamatan Bungan. Selama ini, kata dia, masyarakat harus berhari-hari di perjalanan hanya untuk mengakses fasilitas dasar.
“Ada keluarga yang sakit, harus dibawa keluar kampung, makan waktu sampai tidur di jalan karena jalannya rusak. Kalau ada pemekaran, pelayanan publik lebih dekat, pembangunan lebih mudah dirasakan, dan otomatis roda perekonomian juga bergerak,” ungkapnya.
Selain itu, posisi strategis Benua Raya yang berbatasan langsung dengan wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara juga menjadi alasan penting.
“Kami ini penyangga langsung IKN. Maka sangat wajar kalau pembangunan lebih diperhatikan. Harapan kami, masyarakat tidak harus langsung sejahtera, tapi setidaknya kondisi mereka jauh lebih baik dari sekarang,” tegasnya.
Meski dukungan moral dari pemerintah daerah dan DPRD sudah ada, perjuangan pembentukan Benua Raya masih panjang. Panitia diminta melengkapi dokumen-dokumen persyaratan formal agar dapat diajukan ke pemerintah pusat.
“Keputusan akhir bukan di tangan kami atau DPRD Kutai Barat, tapi di pusat. Namun kami tidak mau masalahnya justru berasal dari kelalaian kami. Jadi sekarang fokus kami adalah melengkapi syarat administrasi sesuai arahan pemerintah daerah dan DPRD,” jelas Syanghai.
Ia berharap dukungan masyarakat semakin kuat, karena perjuangan ini bukan semata kepentingan sekelompok orang.
“Kami berjuang untuk anak cucu kita agar bisa menikmati akses yang lebih mudah. Karena tanpa pemekaran, pembangunan akan selalu tersendat oleh luasnya wilayah dan terbatasnya anggaran,” pungkasnya.