TRIBUN GARDA IKN.COM, SENDAWAR – Kejaksaan Negeri Kutai Barat (Kejari Kubar) digugat secara resmi melalui praperadilan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam menetapkan RAA sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi rehabilitasi jaringan irigasi Muara Kedang, Kecamatan Bongan, tahun anggaran 2020. Gugatan ini terdaftar di Pengadilan Negeri Kutai Barat dengan nomor perkara 2/Pid.Pra/2025/PN Sdw, dan telah disidangkan sejak Kamis (24/7/2025).
RAA, yang menjabat sebagai Direktur CV Saumlaki pelaksana proyek, menilai status tersangka yang disematkan kepadanya sarat pelanggaran prosedural, melabrak asas legalitas, serta menunjukkan watak penegakan hukum yang terkesan sewenang-wenang, “Saya minta kasusnya dihentikan,” ujar RAA, dalam petitum permohonannya.
Permasalahan bermula dari penyelidikan Kejari Kubar pada 2024. Sprindik diterbitkan pada 18 April 2024, namun SPDP baru diberikan kepada RAA 14 bulan kemudian, yakni pada 23 Juni 2025. Jauh melampaui batas waktu maksimal 7 hari sebagaimana diatur dalam KUHAP dan dipertegas oleh putusan MK.
RAA mengaku pertama kali diperiksa sebagai saksi pada Mei 2024 tanpa menerima SPDP. Lalu jaksa kembali memanggilnya pada 5 Desember 2024, namun ia tidak bisa hadir karena ada hari raya keagamaan.
“Saya minta tunda ke bulan Januari 2025, tapi tidak ada panggilan lagi. Sampai bulan Juni saya dipanggil tapi sudah jadi tersangka dengan tuduhan korupsi,” ujar RAA dalam sidang perdana di PN Kubar.
“Saya datang dengan pengacara ke kejaksaan, tapi bukan diperiksa. Saya malah langsung disuruh tanda tangan surat penahanan. Tanpa tahu isinya, saya dibawa ke Polres,” ujar RAA di hadapan hakim tunggal Buha Ambrosius Sitomorang.
RAA menegaskan bahwa proyek sudah selesai sejak 2020, dan sudah diperiksa BPK, serta tidak ditemukan kerugian negara. Namun jaksa menetapkannya sebagai satu-satunya tersangka, sementara pihak-pihak lain yang berwenang dalam pelaksanaan proyek justru luput dari proses hukum.
“Saya siap bertanggungjawab atas perkerjaan, dan boleh kita turun sama-sama periksa di lapangan,” tuturnya di akhir sidang perdana.
Sementara itu Elia Ronny Sianressy selaku kuasa hukum RAA menilai penetapan tersangka dilakukan tanpa dasar hukum yang sah dan cacat sejak awal.
Bukti pelanggaran paling mencolok adalah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang seharusnya diberikan maksimal 7 hari setelah Sprindik diterbitkan, justru baru diberikan lebih dari 14 bulan kemudian, pada 23 Juni 2025.
“Penyidikan dilakukan sejak 18 April 2024. Tapi klien kami baru tahu dirinya tersangka lebih dari setahun kemudian. Ini bukan kelalaian biasa. Ini bentuk nyata penegakan hukum yang brutal dan melanggar asas due process of law,” tegasnya.
Lebih parah lagi, ketika RAA akhirnya memenuhi panggilan dan datang ke kejaksaan, tidak ada proses pemeriksaan. Ia malah langsung disodori berkas untuk ditandatangani dan digelandang ke tahanan tanpa dasar hukum yang sah.
Fakta lain yang menimbulkan kecurigaan adalah hanya satu orang yang ditetapkan tersangka. Padahal, proyek yang dibiayai APBD melalui Dinas PUPR itu melibatkan banyak pihak seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pengguna Anggaran (PA), dan PPTK.
“Klien kami bukan PPK, bukan PA, bukan bendahara, tapi justru ditetapkan satu-satunya tersangka. Di mana logika hukumnya? Ini jelas sarat kepentingan,” tegas Elia.
Guru Besar Hukum Unpatti, Prof. Dr. Salmon Yosep Nirahua, yang dihadirkan sebagai ahli pemohon, menilai proses penetapan tersangka terhadap RAA cacat secara hukum administratif. Menurutnya, penegakan hukum pidana harus tunduk pada tiga unsur legalitas, yaitu wewenang, prosedur, dan substansi.
“Jika salah satu tidak terpenuhi, maka tindakan itu batal demi hukum. Apalagi menyimpang dari tujuan pemberian kewenangan maka masuk kategori penyalahgunaan wewenang,” papar Prof. Salmon.
Dalam kasus RAA, penetapan tersangka dilakukan lebih dahulu, sementara audit menyusul kemudian seolah membalik logika hukum. Ia juga mengingatkan bahwa dalam perkara korupsi, penetapan kerugian negara harus dilakukan oleh lembaga berwenang seperti BPK, bukan berdasarkan tafsir subjektif penyidik.
“Kalau tidak ada audit resmi, dari mana dasar menyatakan ada korupsi? Apalagi proyek itu sudah lewat masa pemeliharaan. Kalau ada kerusakan, bisa jadi itu akibat alam, bukan kerugian negara,” jelasnya.
Sementara itu dalam sidang lanjutan (25/7/2025), Kejari Kubar justru menuai kritik karena tidak menghadirkan saksi ahli hukum, melainkan dua staf internal, yaitu Fais dan Rais dari bagian administrasi pidana khusus. Mereka dianggap tidak netral dan telah mengikuti jalannya persidangan sebelumnya, sehingga secara etis tidak layak menjadi saksi.
Bahkan, keterangan yang mereka sampaikan justru memperkuat dalil pemohon. Fais mengakui bahwa surat panggilan hanya dibuat dua kali (April dan Desember 2024), dan tidak dapat memastikan apakah surat tersebut benar-benar diterima oleh RAA.
“Fatal jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa kepastian dia pernah dipanggil secara sah. Apalagi salah satu surat ternyata bukan surat panggilan saksi, melainkan surat klarifikasi. Ini manipulasi administratif,” tegas pengacara RAA, Elia.
Menurut Elia, perkara ini lebih dari sekadar uji keabsahan penetapan tersangka. Ini adalah potret telanjang bagaimana hukum acara pidana dijalankan secara serampangan di daerah.
“Kami tidak melindungi korupsi. Tapi kalau aparat bertindak sewenang-wenang, tanpa dasar hukum, tanpa bukti audit, tanpa SPDP tepat waktu, dan hanya menetapkan satu orang sebagai kambing hitam, maka ini bukan penegakan hukum, ini kriminalisasi,” tegasnya.
Secara terpisah, kepala seksi pidana khusus Kejari Kubar, Agus Supriyanto membantah sewenang-wenang menetapkan RAA sebagai tersangka. Dia mengaku sudah ada dua alat bukti yang kuat dalam menjerat RAA.
“Dua alat bukti sudah ada, kita sudah dapat penghitungan kerugian negara dari BPK. Juga sudah ada ahli ada dua orang, ahli teknis, kemudian ahli dari BPK sudah lengkap. Tidak sembarang kita menetapkan seseorang menjadi tersangka,” katanya.
Bahkan dia mengaku akan terus mencari pelaku lain yang terindikasi terlibat perkara rasuah tersebut.
“Jadi kita tetapkan sebagai tersangka baru satu, sebagai pelaksana. Ini yang kita anggap orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan. Untuk pihak lainnya dalam waktu berikutnya nanti kita akan tetapkan sebagai tersangka,” pungkasnya.
Penulis: Johansyah