JAKARTA, TRIBUN GARDA IKN.COM–Keputusan pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kompol Kosmas Kaju Gae mengguncang jagat digital sekaligus memantik solidaritas masyarakat di Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Gelombang protes mengalir deras, bukan hanya lewat ruang-ruang diskusi lokal, tapi juga melalui media sosial, petisi daring, hingga surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Kapolri, Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) Polri, dan pimpinan DPR RI.
Bagi masyarakat Ngada, Kompol Kosmas bukan sekadar seorang perwira menengah. Ia adalah putra daerah yang sejak muda menapaki jalan pengabdian di kepolisian. Rekam jejaknya disebut sarat keberanian terutama saat demonstrasi besar di Jakarta, ketika ia berada di garis depan untuk mengamankan situasi sekaligus menyelamatkan banyak orang, termasuk pejabat negara.
Kini, semua itu seakan terhapus dengan tinta tebal keputusan PTDH. Publik menganggap hukuman ini tidak sebanding dengan pengabdian panjang yang telah diberikan.
Surat terbuka yang ditandatangani masyarakat Ngada beredar luas di media sosial. Isinya lugas: menolak pemecatan, memohon peninjauan ulang, serta menekankan perlunya sanksi yang lebih adil. Mereka mengingatkan, masih ada bentuk hukuman yang lebih manusiawi tanpa harus meruntuhkan karier dan nama baik seorang putra daerah yang telah puluhan tahun mengabdi.
“Kompol Kosmas tetaplah kebanggaan kami, tetaplah pahlawan kami,” begitu bunyi pernyataan yang diunggah berulang kali di berbagai kanal digital.
Bersamaan dengan itu, sebuah petisi daring di Change.org berjudul Tolak PTDH Kompol Kosmas Kaju Gae muncul dan segera menyedot dukungan. Ribuan tanda tangan telah terkumpul hanya dalam hitungan hari. Dari Flores, diaspora menyumbangkan dukungan moral. Dari kota-kota besar, warganet menambahkan komentar pedas soal konsistensi penegakan disiplin di tubuh Polri.
Tagar SaveCosmas, Polri, hingga IndonesiaHebat menjadi pengikat solidaritas baru. Di Twitter, percakapan mengalir deras. Banyak warganet mempertanyakan mengapa seorang perwira dengan rekam jejak panjang justru dihukum dengan cara yang paling berat.
“Kalau setiap kesalahan ditutup dengan PTDH, siapa lagi yang mau mengabdi puluhan tahun?” tulis seorang akun.
Facebook tak kalah ramai. Foto-foto lama Kompol Kosmas beredar dengan caption doa dan dukungan moral. Instagram dipenuhi poster digital bertuliskan Save Kompol Kosmas, sederhana tapi penuh makna, dibagikan ulang oleh akun-akun publik figur hingga komunitas diaspora Flores.
Di YouTube dan TikTok, potongan video yang mengisahkan peran Kosmas dalam mengawal demonstrasi besar di Jakarta kembali diunggah. Narasi yang dibangun jelas: mengingatkan publik bahwa sosok yang kini terancam kariernya pernah berdiri di garis depan demi bangsa.
Bukan hanya dukungan emosional, publik juga menajamkan kritik ke arah institusi. Warganet menyoroti inkonsistensi KKEP dalam menjatuhkan sanksi. Ada yang menyebut PTDH kerap dijadikan jalan pintas, tanpa melihat rekam jejak pengabdian.
Suara-suara digital itu menilai, keadilan di tubuh Polri sering kali tampak timpang. Ada kasus berat dengan sanksi ringan, sementara dalam kasus lain, seperti yang dialami Kosmas, sanksi justru maksimal. Pertanyaan pun bergulir: apakah keputusan ini mencerminkan rasa keadilan, atau sekadar penegakan aturan formal tanpa melihat konteks?
Surat terbuka masyarakat Ngada menggarisbawahi persoalan itu. Mereka mengingatkan bahwa Tuhan Maha Adil dan suara rakyat kecil pun patut didengar. Dari Flores hingga lini masa nasional, narasi yang sama terus diulang: jangan padamkan pengabdian panjang hanya dengan satu keputusan.
Gelombang digital ini perlahan menjadi tekanan politik. Dukungan publik lintas wilayah mendorong DPR RI ikut disebut dalam surat terbuka. Bagi masyarakat Ngada, persoalan ini bukan lagi sekadar urusan internal Polri, melainkan isu keadilan publik.
Warganet melihat dinamika ini sebagai ujian bagi kepemimpinan Kapolri. Di tengah upaya membangun citra polisi yang humanis, transparan, dan profesional, keputusan PTDH terhadap Kosmas justru dinilai berseberangan. Banyak yang menilai, jika suara rakyat kecil tak didengar, maka luka kepercayaan publik akan semakin dalam.
Kini, mata publik tertuju pada Kapolri dan KKEP. Akankah mereka meninjau ulang keputusan itu? Atau justru bergeming di balik argumentasi hukum internal?
Sementara itu, di Flores, doa-doa dipanjatkan. Di dunia maya, tanda tangan petisi bertambah setiap jam. Solidaritas yang muncul lintas batas ini menunjukkan satu hal: Kompol Kosmas telah menjadi simbol, bukan sekadar individu. Simbol bahwa keadilan tidak hanya soal aturan, tetapi juga soal hati nurani.
Masyarakat Ngada menegaskan, perjuangan ini tak akan berhenti. Suara mereka mungkin berasal dari daerah kecil di Nusa Tenggara Timur, tetapi gaungnya kini menggema hingga pusat kekuasaan.
Pertanyaan yang kini menggantung: apakah suara rakyat kecil akan menjadi catatan penting, atau hanya gema yang pelan-pelan dilupakan?