Pemerintah Didakwa Abai, Ribuan Guru Mogok di Seluruh Kubar

KUTAI BARAT, TRIBUNGARDAIKN.COM– Ribuan guru di Kabupaten Kutai Barat (Kubar) resmi menyatakan mogok kerja. Aksi besar-besaran yang dimulai Kamis (18/9/2025) itu diikuti lebih dari 200 sekolah, dari SD hingga SMP, dengan jumlah peserta mencapai ribuan guru ASN. Teriakan mereka hanya satu: menuntut keadilan dalam kebijakan Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) yang dianggap timpang dan diskriminatif.

“Aksi mogok kerja ini adalah langkah terakhir. Sebelumnya kami sudah menempuh berbagai cara yang lebih baik: audiensi, RDP, sampai bertemu langsung dengan Bupati. Bahkan beliau sempat mengiakan tuntutan kami. Tapi kenyataannya sampai detik ini, tidak ada realisasi,” tegas Guru SMP Negeri V Eheng sekaligus Koordinator Lapangan Aksi Mogok Kerja, Theo Trinita, kepada Media ini, Rabu (17/9/2025).

Bacaan Lainnya

Sejak awal, para guru mengaku selalu berada di posisi paling rendah. Mereka mencontohkan, TPP guru yang sebelumnya Rp3,5 juta dipukul rata menjadi Rp2,5 juta. Sementara ASN struktural yang segolongan masih menerima Rp5,7 juta hingga Rp6,5 juta.

“Jaraknya terlalu jauh. Kami ASN daerah juga. Kami punya hak sama, diatur undang-undang, bahkan ditegaskan dalam peraturan Kemendikbud. Tapi kami terus diperlakukan tidak adil,” kata Theo.

Ia menambahkan, pemotongan TPP semakin memperlebar jurang kesejahteraan.

“Teman-teman struktural masih bisa membawa pulang Rp6 juta bersih. Kami hanya Rp2,3 juta setelah dipotong pajak dan BPJS. Bayangkan, dengan uang segitu, bagaimana guru bisa hidup layak? Beli beras saja berat, ongkos ke sekolah pun sering jadi beban.”

Menurut Theo, Bupati Kutai Barat sempat berjanji mengembalikan TPP guru ke Rp3,5 juta pada pertemuan sekitar Maret 2025, setelah adanya RDP dengan DPRD dan OPD terkait.

“Beliau mengatakan belum bisa menyetarakan dengan kelas jabatan. Tapi berjanji berusaha menaikkan kembali ke Rp3,5 juta. Itu janji beliau. Tapi hari ini, kenyataannya janji itu belum ada wujudnya. Kami kecewa,” ujar Theo.

Guru menilai, kebijakan pemotongan TPP bukanlah hal yang mustahil untuk diperbaiki. Masalahnya hanya ada pada kemauan politik pemerintah daerah.

“Pemotongan itu warisan bupati sebelumnya. Kalau mau, bisa saja diperbaiki. Tapi mengapa tidak?” tambahnya.

Aksi mogok ini telah mengguncang wajah pendidikan Kutai Barat. Aktivitas belajar lumpuh, murid-murid terpaksa menunggu kepastian. Namun, bagi para guru, tanggung jawab terbesar ada di pundak pemerintah.

“Kami tidak pernah ingin meninggalkan murid. Tapi sampai kapan kami harus diam? Kami sudah terlalu lama menunggu. Kalau tidak bersatu sekarang, kapan lagi? Karena jelas, hanya dengan kebersamaan suara kita bisa didengar,” tegas Theo.

Seruan itu juga ditujukan kepada guru-guru lain yang belum ikut mogok. “Kami mengajak seluruh guru di Kubar yang belum bergabung, mari bersatu. Jangan takut. Ini soal hak kita bersama. Kalau kita diam, pemerintah akan terus menindas kita dengan kebijakan timpang.”

Dengan ribuan guru turun tangan, tekanan terhadap pemerintah daerah semakin berat. Wajah Kutai Barat kini tengah dipertaruhkan: apakah pemerintah berani memenuhi janji dan menyelesaikan ketimpangan, atau membiarkan dunia pendidikan terhenti karena kealpaan mereka?

“Kami tahu murid-murid terganggu, tapi siapa yang bersalah? Guru hanya menuntut hak. Pemerintah yang menutup mata, itulah sumber masalahnya. Kalau Bupati serius, harus segera ada kebijakan baru. Jangan biarkan ribuan guru terus menjerit,” ujar Theo.

Aksi mogok kerja ini adalah simbol perlawanan guru yang selama ini dipaksa sabar. Mereka telah mencoba jalur musyawarah, hukum, dan dialog. Tetapi ketika semua pintu itu tidak kunjung membuka solusi, mogok adalah jalan terakhir.

“Kami tidak main-main. Kalau tidak ada solusi nyata, mogok kerja ini akan berlanjut. Dan kalau berlanjut, artinya pendidikan di Kubar akan lumpuh total. Itu risiko yang harus ditanggung pemerintah,” ucap Theo.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *