Supriyadi Jadi Tersangka Kasus Pupuk, Pemerintah Kampung Pertanyakan Sikap PT ARI

Petinggi Kampung Bentas, Abet Nego (Ist)

KUTAI BARAT, TRIBUNGARDAIKN.COM– Kasus dugaan pencurian pupuk di lingkungan PT Aneka Raksa Internasional (ARI) menyisakan tanda tanya besar. Operator alat berat bernama Supriyadi kini ditetapkan sebagai tersangka, meski sejumlah kejanggalan dalam proses penyelidikan dipertanyakan pemerintah Kampung Bentas, Kecamatan Siluq Ngurai, Kabupaten Kutai Barat, serta pihak keluarga.

Peristiwa bermula pada 12 Agustus 2025. Berdasarkan keterangan, asisten kebun PT ARI membuat kasbon pupuk untuk kegiatan pemupukan. Pekerjaan itu dilaksanakan dengan melibatkan Supriyadi, operator jonder, bersama dua tukang langsir bernama Pindy dan Sapri.

Bacaan Lainnya

Ketiganya ditugaskan mengantar pupuk ke blok kebun sesuai instruksi. Setelah selesai membongkar pupuk, Supriyadi kembali ke mes. Namun, sore hari ia mendapat panggilan mendadak karena muncul laporan kehilangan pupuk.

Supriyadi, bersama Pindy dan Sapri, kemudian diminta registrasi ulang dan diarahkan ke lokasi penemuan 11 karung pupuk di pinggir jalan, hanya berjarak sekitar 200–300 meter dari kantor utama PT ARI. Di lokasi itu, ketiganya diduga dipaksa mengakui pupuk tersebut sebagai hasil curian, sebelum akhirnya dibawa ke Polres Kutai Barat pada sore hari yang sama.

Sehari kemudian, Supriyadi dipanggil kembali sebagai saksi. Namun dalam pemeriksaan kedua, statusnya berubah menjadi tersangka. Sejak itu ia ditahan, sementara dua rekannya tidak.

Petinggi Kampung Bentas, Abet Nego, menilai proses tersebut tidak wajar. Menurutnya, lokasi pupuk ditemukan justru berada di kawasan yang seharusnya paling ketat pengawasannya.

“Lokasinya dekat sekali dengan kantor perusahaan, ada pos keamanan dan pengawasan Brimob. Tapi kenapa seolah langsung diarahkan ke karyawan sebagai pelaku? Ini yang menjadi pertanyaan kami,” ujar Abet, Jumat (29/8/2025).

Ia menambahkan, kasus semacam ini seharusnya diselesaikan lebih dulu secara internal oleh perusahaan.

“Kalau memang ada dugaan pencurian, panggil karyawan, lakukan klarifikasi. Kalau terbukti, buat surat teguran atau pernyataan. Jangan buru-buru dilaporkan ke polisi,” kata Abet.

Pemerintah kampung, kata dia, sudah berupaya mencari jalan tengah dengan mengajukan surat kesepakatan damai. Namun upaya tersebut ditolak perusahaan. PT ARI justru menetapkan lima syarat sebagai prasyarat damai, antara lain pengunduran diri tersangka, pembayaran sewa jonder Rp40 juta per bulan, penggantian pupuk yang hilang, menjaga kondisi tetap kondusif, serta menanggung biaya operasional kepolisian.

“Bagi kami, syarat itu memberatkan. Terutama soal biaya operasional polisi, itu jelas tidak benar. Negara sudah menganggarkan dana untuk penanganan perkara, jadi kenapa dibebankan ke tersangka? Hak tersangka harus dihormati,” tegas Abet.

Abet menilai hak-hak hukum Supriyadi tidak dipenuhi sejak awal.

“Sebelum pengadilan memutuskan bersalah, ia masih punya hak untuk membela diri, memberikan keterangan, dan didampingi. Tidak bisa dipaksa mengakui atau menanggung biaya di luar kewenangannya,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa kasus serupa bisa berdampak pada keresahan sosial jika tidak dikelola dengan bijak.

“Kami pemerintah kampung tidak pernah diajak bicara sejak awal. Padahal dampaknya langsung ke masyarakat. Ini yang mestinya jadi perhatian manajemen,” ucap Abet.

Pemerintah kampung menegaskan tidak membela siapa pun dalam kasus ini. Namun, mereka meminta agar perusahaan tidak gegabah melibatkan aparat sebelum menyelesaikan persoalan internal.

“Kami mendukung pemberantasan pencurian. Tapi jangan sampai langkahnya salah arah. Kalau tidak hati-hati, karyawan bisa jadi korban tuduhan sepihak,” ujar Abet.

Sementara itu, keluarga Supriyadi mengaku terpukul dengan penetapan tersangka. Mereka merasa proses hukum berjalan terburu-buru dan tidak memberi ruang pembelaan.

“Awalnya dia dipanggil sebagai saksi, besoknya langsung jadi tersangka dan ditahan. Kami sangat kaget,” ujar Kerok, perwakilan keluarga Supriyadi.

Mereka berharap perusahaan mau membuka ruang dialog dan penyelesaian secara damai.

“Kami hanya ingin ada jalan damai. Supriyadi itu menjalankan perintah kerja, bukan bertindak sendiri. Jangan sampai dia dikorbankan,” katanya.

Keluarga juga menolak syarat damai yang diajukan perusahaan. “Kami tidak sanggup menanggung biaya sebesar itu. Bagaimana mungkin membayar sewa jonder puluhan juta dan biaya operasional polisi? Itu di luar kemampuan kami,” ujarnya.

Menurut keluarga, perusahaan semestinya mempertimbangkan faktor kemanusiaan.

“Dia pekerja kecil, karyawan biasa. Kalau ada persoalan, selesaikan baik-baik. Jangan langsung hukum tanpa memberi ruang pembelaan,” tegasnya.

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *