KUTAI BARAT, TRIBUNGARDAIKN.COM–Konflik lahan di Kabupaten Kutai Barat kian memanas. Warga Kampung Geleo Asa menuding PT ISM, sebuah perusahaan pertambangan, telah melakukan penggusuran lahan warga secara sepihak tanpa komunikasi dan kesepakatan. Perusahaan bahkan disebut menolak keputusan adat serta enggan membuka ruang dialog dengan masyarakat setempat.
Ketua Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) Geleo Asa, Agustinus, menyatakan secara tegas bahwa klaim PT ISM yang menyebut telah melakukan pertemuan dengan warga adalah bohong belaka.
“Itu kebohongan oleh pihak ISM. Saya selaku Ketua BPK tidak pernah tahu dan tidak pernah ada pertemuan rapat antara perusahaan dengan kami di Geleo Asa, termasuk RT-RT. Kalau sejak awal mereka berkomunikasi, konflik ini tidak akan terjadi,” ujar Agustinus kepada Media ini, Kamis (28/8/2025).
Agustinus menuturkan, lahan yang kini dikuasai PT ISM bukan tanah kosong. Puluhan tahun masyarakat Geleo Asa telah memanfaatkannya untuk berkebun rotan dan tanaman lain sebagai sumber penghidupan. Namun, lahan itu kini rata digusur oleh perusahaan.
“Bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun warga kami sudah mengelola kebun rotan di sana. Sekarang tiba-tiba digusur paksa tanpa ada komunikasi. Padahal pemilik lahan jelas orang Geleo Asa, bukan pihak lain,” katanya.
Ia menyebut perusahaan menggunakan alasan batas wilayah antar kampung yang belum memiliki Surat Keputusan (SK) resmi pemerintah. PT ISM, menurutnya, kerap berlindung di balik klaim Kampung Muara Benanga sebagai pemilik wilayah. Padahal, sejarah pembagian tanah justru menunjukkan bahwa lahan tersebut milik Geleo Asa.
“Kalau mereka bicara batas kampung, harus ada SK penetapan resmi. Faktanya sampai hari ini tidak ada. Yang ada hanya kesepakatan adat sejak tahun 1950, ketika sebagian wilayah diberikan ke Geleo Baru, lalu baru tahun 1990 sebagian lagi ke Muara Benanga. Itu pun bukan keputusan pemerintah, hanya kesepakatan adat,” tegas Agustinus.
Masyarakat Geleo Asa telah berulang kali melayangkan protes resmi. Pemerintah kampung sudah bersurat agar PT ISM menunda aktivitas sampai persoalan tanah diselesaikan. Lembaga adat besar Kabupaten Kutai Barat pun sempat mengeluarkan keputusan “peninjau lati”, istilah adat yang bermakna penundaan kegiatan. Namun, perusahaan menolak mematuhinya.
“Sudah jelas, keputusan adat dikeluarkan agar kegiatan dihentikan sementara. Bahkan sudah dijatuhi denda adat karena menggusur tanpa kesepakatan dan tanpa pembayaran. Tapi PT ISM menolak mentah-mentah. Ini bukti mereka tidak menghargai hukum adat kami,” ujar Agustinus.
Ia menambahkan, Kepala Adat Besar juga sudah mengeluarkan vonis denda. Namun, langkah itu kembali diabaikan perusahaan. Akibatnya, keresahan masyarakat semakin meluas.
Agustinus mengaku kecewa dengan sikap pemerintah daerah yang terkesan lamban menangani persoalan ini. Menurutnya, warga telah berulang kali mengadu sejak era bupati terdahulu, tetapi jawaban pemerintah selalu sama: masalah sudah masuk ranah hukum, sehingga pemerintah tidak bisa campur tangan.
“Kami tidak tahu apakah ada lobi-lobi khusus di balik ini. Yang jelas, masyarakat kami sudah jelas dirugikan. Lahan digusur, warga malah dilaporkan. Itu bukan hanya merugikan secara materi, tapi juga melukai rasa keadilan dan perikemanusiaan,” ujarnya.
Menurut Agustinus, data kepemilikan warga sangat jelas. Surat tanah dan sertifikat dari kecamatan menjadi bukti sah.
“Kami bicara berdasarkan data, bukan klaim kosong. Jadi kalau perusahaan menyebut lahan itu bukan milik warga Geleo Asa, itu omong kosong,” tegasnya.
Sebagai bentuk perlawanan, warga Geleo Asa mempertimbangkan langkah tegas: menutup akses jalan yang dilalui PT ISM menuju lokasi kerja mereka di Muara Benanga.
“Opsi kami adalah menutup akses itu. Alasannya bukan untuk membuat keributan, tapi demi keamanan. Situasi makin tidak baik. Kalau akses ditutup, kami harap konflik tidak meluas menjadi kerusuhan,” kata Agustinus.
Ia menilai, langkah itu satu-satunya cara agar perusahaan mau duduk bersama warga.
“Kalau PT ISM membutuhkan lahan itu untuk kegiatan mereka, harus ada pertemuan resmi dengan warga Geleo Asa. Selama ini perusahaan selalu menghindar, tidak pernah mau bertemu muka,” tambahnya.
Bagi warga Geleo Asa, perjuangan ini bukan sekadar mempertahankan tanah, tetapi juga menuntut keadilan. Mereka tidak menolak investasi, tetapi menolak praktik yang merampas hak hidup masyarakat lokal.
“Harapan kami sederhana, masyarakat kami mendapat keadilan. Kami tidak menolak pembangunan. Tapi jangan sekali-kali mengorbankan hak warga yang sudah turun-temurun hidup di atas tanah itu. Kalau perusahaan mau bijak, duduklah bersama kami, bicarakan baik-baik,” pungkas Agustinus.
Jika konflik ini dibiarkan tanpa penyelesaian, Adrianus khawatir akan menimbulkan gejolak sosial yang lebih besar.
“Kunci penyelesaian ada di perusahaan. Kalau mereka terus menghindar, berarti mereka sengaja menciptakan konflik,” katanya.