Oleh: Andre Vincent Wenas
Jakarta Tribun Garda IKN.com – Isu ijazah palsu adalah jenis fitnah yang merepresentasikan upaya menghancurkan kredibilitas Jokowi. Kredibilitas Jokowi dipandang begitu berbahaya bagi mereka, apalagi melihat “the lame-duck theory” tidak berlaku, plus tontonan orisinal di gang Sumber yang sempit itu dimana antrian rakyat jelata (juga tokoh politik dan bisnis) yang tak putus-putus berbaris dengan sopan di depan rumahnya.
Isu matahari kembar adalah jenis fitnah yang merepresentasikan upaya memecah persekutuan dua kekuatan nasionalis: Jokowi dan Prabowo. Jokowi yang telah merangkul Prabowo, serta Prabowo yang akhirnya berhasil menggandeng Gibran sebagai wakilnya. Faktanya paslon ini yang akhirnya dipilih oleh mayoritas rakyat. Ya, ini fakta yang tak terbantahkan.
Rezim Prabowo-Gibran bertekad melanjutkan kerja-kerja baik Jokowi. Melanjutkan developmentalisme yang dikenal dengan istilah Jokowinomics atau spirit Jokowisme. Dan ini sangat mengecewakan mereka yang berada di barisan sakit hati. Tapi kenyataannya Jokowi sangat didukung rakyat, hasil-hasilnya dirasakan juga oleh masyarakat terutama di lapisan bawah yang mayoritas.
Secara ringkas dengan baik diutarakan oleh Siswono Yudo Husodo, “Sekarang Pak Jokowi mencapai keberhasilan yang luar biasa, harga minyak satu harga seluruh Indonesia, berani membubarkan Petral yang tidak bisa dilakukan oleh presiden sebelumnya, berani melarang hadirnya FPI-HTI sesuatu yang juga tidak gampang dilakukan pada era sebelumnya, mensyaratkan tambang-tambang harus smelter disini, menguasai blok Rokan, blok Mahakam yang tadinya tidak bisa dilakukan oleh yang lain.”
Sambungnya, “Moderenisasi alutsista TNI yang luar biasa sekarang ini dengan sekaligus memberdayakan industri dalam negeri sampai senjata serbu dari produksi Pindad itu tidak kalah dari produksi Eropa maupun Amerika lho. Dalam kondisi begitu orang sedikit-sedikit nanya ke Pak Jokowi menurut saya wajar. Bukan karena mengkultuskan dia, buktinya dia tidak mau maju lagi dan rakyat setuju juga bahwa cukup dua kali.”
Singkat padat tapi cukup menjelaskan prestasi politik Jokowi selama dua periode kepresidenannya. Bahkan kemana arah jari telunjuk Jokowi mengarah, kesitu pulalah pilihan rakyat sebagai penggantinya. Pengganti yang diharapkan jadi penerus. Dan paslon yang mendeklarasikan sebagai penerus atau pelanjut dari kerja-kerja baik Jokowi memang yang terbukti menang pemilu.
Oleh barisan sakit hati (utamanya akibat residu kalah pemilu), ya sakit hati, ini mesti kita sebutkan dengan gamblang supaya tidak abu-abu, terus menyemburkan dua upaya tadi: pertama, mendiskreditkan Jokowi, karena wibawa prestasi Jokowi terlalu jelas jejak-jejaknya, dan kedua memecah Prabowo dari faktor Jokowi.
Dalam konstelasi ini tentu saja bisa dimanfaatkan oleh mereka, termasuk oleh pihak asing dengan mendompleng narasi DFK (disinformasi, fitnah dan kebencian) yang mereka semburkan demi keuntungan egoistik masing-masing pihak. Malah kalau perlu menyeponsorinya.
Termasuk akhir-akhir ini dengan mendiskreditkan Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK), yang oleh aktor-aktor Bocor Alus (Tempo) diledek dengan sebutan “kikikik” sambil tertawa cekikikan (entah dimana letak kelucuannya).
Dikatakan oleh mereka bahwa kantor ini adalah warisan Jokowi, dan diposisikan seolah kantor ini sekarang sudah jadi beban bagi Prabowo. Apa penjelasan “jadi beban” tidak disampaikan, karena kenyataannta KPI (key performance indicator) PCO adalah “approval rating” Prabowo. Dan seperti dibuktikan oleh lembaga jajak pendapat yang kredibel, approval rating Prabowo masih berada di kisaran delapan puluh persenan. Sangat tinggi.
Padahal, kalau menilik kasus paket “kepala babi mentah yang tanpa kuping” itu, komentar Fransisca Christy Rosana (Chicha) melalui akun X (dulu twitter) miliknya, malah nadanya ringan dan santai saja, “Lain kali ngirim jangan kepala babi, daging babi gitu lho yg enak, mana telinganya udah ga ada.” Maka enteng pula komentar Hasan Nasbi sewaktu dimintai tanggapannya oleh wartawan, “…ya dimasak saja.”
Paket itu tanpa identitas si pengirim, pun tak ada pesan tertulis yang jelas. Tidak ada pesan ancaman maupun terror, tidak ada kata pujian atau kata-kata selamat (congratulation) untuk suatu hal. Oleh karena itu semua bebas untuk menginterpretasikannya. Chicha (panggilan akrab Fransisca) pun enteng menjawab, dan Hasan Nasbi juga ringan-ringan saja mengomentarinya.
Tapi rupanya sementara kalangan malah jadi heboh sendiri, dengan menyebut hal ini sebagai ancaman atau terror. Ya bebas-bebas saja sih, boleh-boleh saja. Tapi tolong dijelaskan pula tentang ancaman kepada siapa dan terror dari siapa? Lha wong Chicha-nya sendiri sudah menanggapi dengan enteng (karena kiriman paket kepala babi itu tidak jelas dari siapa dan pesannya apa?). “Lain kali ngirim jangan kepala babi, daging babi gitu lho yg enak, Mana telinganya udah ga ada”, kata Chicha.
Hasan Nasbi rupanya sudah menjadi target untuk didiskreditkan terus. Kecerdasannya dalam menanggapi berbagai persoalan bangsa memang merisaukan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencari-cari kesalahan Prabowo, juga Gibran, apalagi Jokowi. Maka di-framing-lah kalau Hasan Nasbi adalah warisan Jokowi untuk Prabowo yang sekarang – menurut mereka – telah jadi beban. Beban apa? Tidak jelas.
Memang figur Hasan Nasbi ini jadi beban, tapi bagi mereka yang berada di barisan sakit hati itu. Banyak logika argumen mereka selalu patah dibuatnya. Hasan Nasbi ini memang beban berat buat mereka para penyinyir dan pembenci Jokowi, Prabowo dan Gibran. Terimalah kenyataan itu.
Kepiawaiannya memetakan arena perdebatan dan menentukan skala prioritas komunikasi kepresidenan membuat para pembenci kelimpungan dalam upaya mereka menebar kebencian.
Upaya mereka yang selalu membungkus informasinya dengan teknik penyesatan logika dan fitnah ala Joseph Goebels, sang agitator andalan Hitlers selalu berhasil dipatahkan Memang Hasan Nasbi adalah beban berat bagi barisan sakit hati, maka harus disingkirkan, kalau perlu lewat operasi DFK yang bertubi-tubi.
Sudahlah, pendeknya semua hal yang bisa dipakai untuk mendiskreditkan Jokowi berikut “warisannya”, termasuk KKK atau PCO, presidential communication office, akan terus digoreng berulang-ulang sampai gosong. Supaya, sekali lagi: 1) kewibawaan Jokowi runtuh, dan 2) duet Jokowi-Prabowo retak. Kalau perlu operasi politik jahat ini bisa sekaligus meruntuhkan Gibran dan Hasan Nasbi.
Tapi kegundahan barisan sakit hati ini nampaknya masih akan terus berlangsung, seiring semakin seringnya Prabowo memuji Jokowi secara terbuka dan semakin padatnya antrian rakyat jelata di gang Sumber.
Tambah lagi sekarang oleh agen travel yang malah menjadikan “wisata Jokowi” sebagai menu kunjungan favorit ke kota Solo. Siapa tahu bisa selfie atau malah dikasih oleh-oleh Jokowi atau oleh Ibu Iriana secara langsung. Foto ini bisa jadi top-story di laman medsosnya masing-masing.
Mengamati fenomena antrian di gang Sumber ini memang menarik. Bahkan sebagian dari “pendemo ijazah palsu” pun yang berkunjung diterima oleh Jokowi. Mereka dikasih pengertian bahwa mereka tidak punya wewenang untuk memeriksa, dan sebaliknya Jokowi pun sama sekali tidak wajib untuk menunjukkannya kepada mereka. Terkecuali hakim meminta dalam pengadilan untuk menunjukkan, maka Jokowi akan taat.
Tapi sebagai orang yang berpendidikan, tentu bisa mencerna hal yang sederhana ini, Jokowi sudah dua kali jadi walikota Solo, sekali jadi gubernur Jakarta, dua kali jadi presiden dan pastilah semuanya melewati proses seleksi dan verifikasi yang ketat entah dulu di partainya (PDIP) dan kemudian di KPU. Tambah lagi pihak UGM sendiri yang menjamin, belum lagi cerita teman-teman seangkatan Jokowi memberi kesaksian. Apakah semua itu belum cukup?
Secara hukum pun aturannya jelas, siapa yang menuduh maka dia yang mesti membuktikannya. Bukan pihak yang dituduh yang mesti kelimpungan menunjukkan bukti. Istilah hukumnya, barang siapa yang mendalilkan maka dialah yang harus membuktikan.
Tapi memang ini semua bukanlah soalnya. Misi barisan sakit hati ini adalah pertama, untuk terus menerus berupaya mendiskreditkan Jokowi dan kedua memisahkan Jokowi dari Prabowo. Ini suatu operasi politik, sebutlah “operasi ijazah palsu” dan “operasi matahari kembar”.
Keretakan Jokowi-Prabowo akan memberi celah bagi mereka untuk menyusup masuk. Sehingga dengan demikian mereka bisa menggantikan peran Jokowi. Berada kembali dalam lingkaran kekuasaan yang bakal membuka kesempatan bagi mereka untuk mengamankan jarahannya selama ini, dan membuka lahan jarahan yang baru.
Banyaknya kasus korupsi besar yang terbongkar sekarang mengindikasikan operasi politik mereka masih gagal. Apakah mereka akan menghentikan operasi politiknya? Nampaknya tidak.
Paling tidak upaya DFK mereka ini bisa jadi bahan amunisi kampanye politik menjelang 2029 nanti. Bibit-bibit kebencian lewat fitnah akan terus dipelihara oleh para pembenci, karena memang hanya sebatas ini yang mampu mereka cerna dan kerjakan.
“Haters gonna hates”, namanya juga “haters”, jadi maju terus, tak usah terlalu menggubris celotehan mereka. Buang-buang waktu saja. Ingat wejangan Plato dulu, “No one is more hated than he who speaks the truth.”
Jakarta, Rabu 16 April 2025
Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Reporter: (Rb/Jhn)